twitter



Uslub Al-Qur'an; Nazmuhu wa Waq’uhu

A.    Uslub al-Qur’an
Secara bahasa, “Uslub” digunakan untuk barisan kurma. Jalan yang memanjang juga disebut uslub. Bisa dikatakan bahwa uslub adalah jalan, cara, dan mazhab. Seperti ungkapan “Antum fi uslûb sawâ”. Uslub juga berarti fann (seni). Ada ungkapan bahwa seseorang mengambil uslub dari suatu kalimat, berarti orang itu mengambil seni dari kalimat tersebut.[1]
Secara istilah para sastrawan, uslub adalah cara berbicara yang digunakan oleh pembicara dalam menyusun pembicaraannya dan memilih kosakatanya.
Dalam terminologi ahli Balaghah, uslub adalah sebuah metode dalam memilih redaksi dan menyusunnya, untuk mengungkapkan sejumlah makna, agar sesuai dengan tujuan dan pengaruh yang jelas. Pengetian lainnya, uslub adalah berbagai ungkapan redaksi yang selaras untuk menimbulkan beragam makna yang dikehendaki.[2]
Dalam tradisi Barat ilmu ini dikenal dengan Stilistika. Style berasal dari kata stilus (Latin), yaitu alat tulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan itu. Pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian menulis indah, maka style berubah menjadi keahlian dan kemampuan menulis atau memggunakan kata-kata secara indah (gaya bahasa).[3]
Joanna Thornborrow dan Shan Wareing dalam buku Patterns in Language menyebutkan: Stilistika adalah cabang linguistik yang mempelajari karakteristik penggunaan bahasa yang secara situsional berbeda, secara khusus merujuk pada bahasa sastra, dan berusaha dapat menjelaskan pemilihan-pemilihan khas oleh individu-individu manusia atau kelompok-kelompok masyarakat dalam menggunakan bahasanya.[4]
Uslub al-Qur’an bukanlah mufradat (kosa kata) dan susunan kalimat, akan tetapi metode yang dipakai al-Qur’an dalam memilih mufradat dan gaya kalimatnya.[5]
Ali al-Jarim dan Musthafa Usman menyebutkan bahwa uslub adalah makna yang terkandung pada kata-kata yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih cepat mencapai sasaran kalimat yang dikehendaki dan lebih menyentuh jiwa para pendengarnya. Menurutnya, uslub ada tiga macam yaitu al-Uslûb al-‘Ilmî, al-Uslûb al-Adabî, dan al-Uslûb al-Khithabî.[6]
Uslub atau gaya bahasa berarti mengungkapkan fikiran atau perasaan melalui bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari kita berkomunikasi dengan orang-orang di sekeliling kita, di rumah, di tempat bekerja, dll. Untuk mengungkapkan fikiran, perasaan, dan tujuan, digunakanlah bermacam-macam uslub atau gaya bahasa yang sesuai dengan gaya kalimat berita, gaya kalimat pertanyaan, gaya perintah, atau gaya bahasa lain, tergantung situasi dan kondisi.[7]
Karenanya, uslub al-Qur’an berarti gaya bahasa al-Qur’an yang tidak ada duanya dalam menyusun redaksi penuturnya dan memilih redaksinya. Para ulama, baik dulu maupun sekarang, telah membahas bahwa al-Qur’an memiliki uslub tersendiri yang berbeda dengan uslub-uslub Arab lainnya, dari segi penulisan, retorika, dan susunan kalimatnya.[8]
Uslub yang dipakai manusia berbeda satu sama lain sebanyak kuantitas jumlah mereka, bahkan uslub yang dipakai seorang akan berbeda sesuai dengan tema dan dan konteksnya.
Uslub yang baik adalah uslub yang efektif, yaitu uslub yang menimbulkan efek psikologis, bahkan efek artistik (keindahan) sehingga dapat menggerakkan jiwa mukhattab untuk memberikan respon perkataan atau reaksi perbuatan atau kedua-duanya, sesuai yang diinginkan oleh mutakallim.
Uslub yang efektif atau uslub yang bernilai balaghah adalah uslub yang fasih, serta sesuai dengan satu atau lebih aspek situasi ujaran, yaitu tujuan, mutakallim dan mukhattab dan uslub yang disampaikan mutakallim sesuai dengan tempat dan waktu ujaran.[9]
Uslub-uslub al-Qur’an tidak diperuntukkan bagi orang tertentu dan tidak pula untuk generasi tertentu, namun uslub-uslub tersebut diperuntukkan bagi generasi ke generasi.
Dalam bukunya, Fahd ibn ‘Abd al-Rohman ibn Sulaiman al-Rumy menyebutkan banyak sekali yang menjadi kajian uslub-uslub al-Qur’an. Diantaranya adalah nazhm al-uslub dan waqa’ al-uslub.


B.     Nazhm al-Uslûb
Secara bahasa al-Nazhm adalah susunan. Sebagaimana yang telah disebutkan di mu’jam al-Wasith; Nazhm al-Qur’an itu adalah ungkapan-ungkapan yang ada pada mushaf baik dalam aspek sighah maupun aspek lughah. Sedangkan al-Nazhim dalam istilah nazhm al-Qur’an adalah al-Manzhûm (bagian-bagiannya serasi dalam satu keharmonisan).
Dalam perkembangannya, kajian nazhm yang termasuk bagian dari kajian uslub mengalami perkembangan sehingga melahirkan para ahli di bidang tersebut dari masa ke masa seperti:
1.      Abu ‘Ubaidah al-Qôsim dengan karyanya “Majâz al-Qur’an al-Tharîq ila Bayân al-I’jâz al-Qur’ani ‘an Tharîq Nazhmihi wa Ta’lîfihi;
2.      Al-Jâhidz (w. 255 H) karyanya “Nazm al-Qur’an”; sayang sekali kitab tersebut tidak sampai ke tangan kita. Dalam kitabnya yang berjudul al-Hayawan, ia menunjuk kepada kitabnya yang berjudul nazm al-Qur’an.
3.      Ibn Qutaibah (w. 267 H) “Ta’wîl Musykil al-Qur’an”;
4.      Al-Rummâni (w. 296 H) karyanya “al-Nakt fi I’jâz al-Qur’an”;
5.      ‘Abd al-Jabbâr al-Hamdâni karyanya “al-Mughni fi Abwâb al-Tauhîd wa al-‘adl”;
6.      Al-Khattâbi (abad ke-4 H) “Bayân I’jâz al-Qur’an”; dan
7.      Abdul Qâhir al-Jurjânî (w. 471 H) dengan mahakaryanya “Dalâ’il al-I’jâz”.
Abdul Qâhir al-Jurjânî dalam bukunya “Dalâ’il al-I’jâz” mengemukakan teori tentang nazm yang terbilang cukup cemerlang. Adapun teori tersebut dapat diintisarikan sebagai berikut ini:[10]
1.      Nazm adalah saling keterkaitannya antara unsur-unsur kalimat, salah satu unsur dicantumkan atas unsur lainnya, dan salah satu unsur ada disebabkan ada unsur lainnya.
2.      Kata dalam nazm mengikuti makna, dan kalimat itu tersusun dalam ujaran karena maknanya sudah tersusun terlebih dahulu dalam jiwa.[11]
3.      Kata harus diletakkan sesuai dengan kaidah gramatikanya sehingga semua unsur diketahui fungsi yang seharusnya dalam kalimat.
4.      Huruf-huruf yang menyatu dengan makna, dalam keadaan terpisah, memiliki karateristik tersendiri sehingga semuanya diletakkan sesuai dengan kekhasan maknanya, misalnya huruf ما / diletakkan untuk makna negasi (kata sangkalan)[12] dalam konteks sekarang (hâl), huruf لا/ diletakkan untuk makna negasi dalam konteks future (mustaqbal).
5.      Kata bisa berubah dalam bentuk ma'rifah, nakirah, pengedepanan, pengakhiran,حذف /ellipsis, dan repetisi. Semua diperlakukan pada porsinya dan dipergunakan sesuai dengan yang seharusnya.
6.      Keistimewaan kata bukan dalam banyak sedikitnya makna tetapi dalam peletakannya sesuai dengan makna dan tujuan yang dikehendaki kalimat.
Al-Jurjânî berpendapat bahwa nazm adalah وثيق الارتباط بالنحو, (terkait erat dengan nahwu/ tata bahasa). Namun yang dimaksud nahwu di sini bukanlah nahwu yang berkaitan dengan tanda rafa’, nashab, jâr, jazm, mendahulukan fi’il sebelum maf’ûl, dan sebaginya. Tetapi, nahwu yang dimaksud oleh al-Jurjânî adalah al-Nahw al-Balâghy atau al-Balâghah al-Nahwiyyah.[13]
Al-Jurjânî mengemukkan contoh kecil yang berkaitan dengan nazm, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Hud ayat 44.
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ﴿هود: ٤٤﴾
dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim ."
Apa yang dikemukakan al-Jurjânî ini adalah hanya sebagian kecil dari maha karyanya yang tersebar dalam berbagai buku. Ia telah menganalisis fungsi bunyi, kata dalam kalimat, dan fungsi semuanya dalam mengantarkan makna. Di dalamnya, diterangkan tentang pemilihan huruf, pemilihan kata, dan fungsinya dalam kalimat.

C.    Waq’u al-Uslûb
Al-Qur’an mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Hal ini disebabkan oleh huruf dari kata-kata yang dipilih melahirkan keserasian bunyi dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian ayat-ayatnya. Dalam Al-Qur’an juga terdapat keteraturan bunyi yang indah melalui nada huruf-hurufnya ketika ia mendengar harokat dari sukunnya, mad dan ghunnahnya, fasilah dan maknanya sehingga telinga tidak pernah merasa bosan, bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya.[14]
Yang dimaksud dengan Waq’u al-Uslûb menurut Fahd adalah nizhâm al-Uslûb al-Shoutî (sistem styles bunyi) dan Jamâl al-Uslûb al-Lughawî. Banyak sekali orang yang menulis dua aspek dari uslub al-Qur’an tersebut dengan sebutan al-Nazm al-Musîqî, al-Musîqâ al-Dâkhiliyyah, al-Îqô’ al-Musîqî fi al-Qur’an, al-Musîqô al-Bâthinah, dan lain sebagainya.
Nampaknya Fahd sendiri tidak begitu setuju dengan penggunaan istilah tersebut di atas karena menurutnya kata al-Musîqâ” adalah 1) kata yang berasal dari bahasa Yunani sedangkan dalam bahasa Arab kata tersebut mengalami perluasan untuk sifat-sifat al-Qur’an, 2)  Musik adalah ilmu yang berdasarkan pada hiburan dan kesenangan, atas dasar pertimbangan untuk mengagungkan al-Qur’an yang dapat menistakannya.
Al-Waqa’ “irama atau ritme” dalam al-Qur’an tidak hanya terdapat satu surat secara utuh, atau pada sejumlah ayat. Tapi, irama dalam al-Qur’an juga terdapat pada satu lafadz.
Adapun contoh al-waqa’ dalam sejumlah ayat bisa kita jumpai pada surat al-Najm ayat 1-22 berikut ini:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى. أَفَرَأَيْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الأنْثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى. ﴿النجم: 1-22﴾

Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata yang digunakannya setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang ingin disampaikannya.
Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan kandungan Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dan kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan lagamnya.
Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair, atau puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayat-ayatnya.
Bacalah misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab dan surat-surat lainnya. Atau baca misalnya surat An-Naziat ayat 15-26. Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang unik itu. Ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan menyampaikan kalimat-kalimat yang memiliki irama dan nada. Nada dan irama itu tidak lain dari apa yang kemudian diistilahkan oleh sementara ilmuwan Al-Quran dengan Musiqa Al-Quran (musik Al-Quran). Ini belum lagi jika ditinjau dari segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya nada bacaan, bahkan belum lagi dan lagu-lagu yang diperkenalkan oleh ulama-ulama Al-Quran.[16]
Subhi al-Shâlih mengungkapkan bahwa keharmonisan irama yang timbul dari rangkaian kata dan kalimat telah ada di dalam setiap lafadz dan setiap ayat al-Qur’an, sehingga gema irama yang harmonis itu saja hamper merupakan lukisan tersendiri yang lengkap menggambarkan warna yang segar atau yang pucat serta menampakkan bayangan yang tipis atau yang tebal.[17]

Contoh dalam firman Allah Swt:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (٢٢) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (٢٣) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ (٢٤) تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (٢٥) [القيامة: 22-25]
Lafadz nâdhiroh (elok berseri-seri) menerangkan keadaan orang-orang yang bahagia dengan pelukisan warna yang paling segar, sedangkan lafadz bâsiroh (suram muram) menerangkan keadaan orang-orang yang celaka dengan pelukisan warna yang paling memuakkan.
Pada saat anda mendengar bisikan huruf “sin” berulang-ulang, maka anda merasa seolah-olah sedang meresapi kesejukan bayangannya, atau merasakan istirah di dalam keringanan bunyi suaranya. Seperti dalam firman Allah Swt:
فَلا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ (١٥) الْجَوَارِ الْكُنَّسِ (١٦) وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ (١٧) وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ (١٨) [التكوير: 15-18)
Sebaliknya, anda akan merasakan getaran di dalam dada pada saat anda mendengar huruf “dal” didahului oleh huruf “ya” dalam lafadz yang mengisyaratkan peringatan keras, seperti huruf “dal” di dalam lafadz tahîd (lari mengelak) sebagai pengganti lafadz tabta’id (menjauhkan diri). Firman Allah Swt:
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ [ق: ١٩]
Demikianlah masalah nada dan irama Qur’ani. Tanda-tanda pemisah antara ayat yang satu dan ayat yang lain, atau antara kalimat yang satu dan kalimat yang lain, irama Qur’ani tidak terikat sama sekali oleh kaidah atau pola apapun juga yang lazim digunakan dalam puisi Arab. Seni sastra Qur’ani tidak serupa dengan pantun yang harus memenuhi kaidah panjang lebar, tambahan dan ulangan, atau penghapusan huruf dan pengurangannya demi keserasian irama. Sastra al-Qur’an tidak lain adalah suatu gaya bahasa yang membawakan tujuan al-Qur’an selengkapnya, baik yang bernada lembut, keras tenang ataupun nada yang bernada menggelombangkan; baik yang mengalir perlahan maupun yang menggelegak laksana amukan badai.[18]

D.    Daftar Pustaka

al-Jarim, Ali dan Musthafa Usman, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1957), Hal. 12-17.
al-Jurjânî, Qâhir, Dalâ’il al-I’jâz, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2007), Cet. I, Hal. 101-102.
al-Rumi, Fahd ibn ‘Abd al-Rahman, Khashâish al-Qur’an al-Karîm, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 2000), Cet. X, Hal. 18
al-Shâlih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1977), Hal, 334.
al-Zarqany, Muhammad ‘Abdul ‘Azhim, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dâr al-Ihya’, t.t.), hlm. 198.
Hidayat, D., Al-Balâghah li al-Jamî’ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî’, (Semarang: Karya Toha Putra, tt), Cet. I, Hal. 65
Keraf, Gorys, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), Hal. 112
Qalyubi, Syihabuddin, Kontribusi Ilmu al-Uslub (Stilistika) dalam Pemahaman Komunikasi Politik, diunduh dari http://adia-adab.org/bahasa/68-kontribusi-ilmu-al-uslub-stilistika-dalampema haman-komunikasi-politik, diunduh pada 12 Desember 2011
Shehab, Magdy, Al-I’jâz al-Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, dalam Syarif Hade Masyah, dkk, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis; Kemukjizatan Sastra dan Bahasa al-Qur’an, (Bekasi: Sapta Sentosa, 2008), Cet. I, Jilid. VII, Hal. 49
Shihab, M. Quraish, Mukjizat Al-Qur’an diTinjau dari Aspek Kebahasaan, Syarat Ilmiyah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2008), Hal, 23.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, diunduh dari http://media.isnet. org/islam/Quraish/Wawasan/Seni2.html, diunduh pada 13 Desember 2011
Sugono, Dendy, dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), Hal. 976.
Thornborrow, Joanna dan Shan Wareing, Patterns in Language, An Introduction to Language and Literary Gaya, (London: Routledge, 1998), Hal. 3.


[1] Fahd ibn ‘Abd al-Rahman al-Rumi, Khashâish al-Qur’an al-Karîm, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 2000), Cet. X, Hal. 18
[2] Magdy Shehab, Al-I’jâz al-Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, dalam Syarif Hade Masyah, dkk, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis; Kemukjizatan Sastra dan Bahasa al-Qur’an, (Bekasi: Sapta Sentosa, 2008), Cet. I, Jilid. VII, Hal. 49
[3] Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), Hal. 112
[4] Joanna Thornborrow dan Shan Wareing, Patterns in Language, An Introduction to Language and Literary Gaya, (London: Routledge, 1998), Hal. 3.
[5] Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dâr al-Ihya’, t.t.), hlm. 198.
[6] Ali al-Jarim dan Musthafa Usman, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1957), Hal. 12-17. Al-Uslûb al-Ilmî (gaya bahasa ilmiah) adalah uslub yang paling mendasar dan paling banyak membutuhkan logika yang sehat dan pemikiran yang lurus dan jauh dari hayalan sya’ir. Dalam uslub ini harus diperhatikan pemilihan kata-kata yang jelas dan tegas maknanya serta tidak mengandung banyak makna. Karena itu pula gaya bahasa ilmiah menghindari penggunaan ungkapan-ungkapan majâz dan badî’. Adapun al-Uslûb al-Adabî (gaya bahasa sastra) adalah uslub yang mengutamakan keindahan sebagai salah satu sifat dan kekhasannya yang paling menonjol. Uslub ini harus menggunakan bahasa yang estetis, puitis, menyentuh rasa dengan keindahannya. Bahasa sastra bersifat simbolis, asosiatif, imajinatif, menggunakan sesuatu dengan kiasan. Sedangkan al-Uslûb al-Khithâbî (gaya bahasa retorika) adalah merupakan salah satu seni yang berlaku pada bangsa Arab yang mempunyai karakteristik dengan kandungan makna yang kuat, memakai lafaz} yang serasi, argumentasi yang relevan dan kekuatan IQ oratornya. Biasanya seorang orator berbicara mengenai tema yang relevan dengan realitas kehidupan untuk membawa audiens mengikuti pemikirannya. Uslub yang indah, jelas, lugas merupakan unsur yang dominan dalam retorika untuk mempengaruhi aspek psikis audiens. Lihat juga D. Hidayat, Al-Balâghah li al-Jamî’ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî’, (Semarang: Karya Toha Putra, tt), Cet. I, Hal. 65
[7] D. Hidayat, Al-Balâghah li …, Hal. 52
[8] Magdy Shehab, Al-I’jâz al-Ilmi…, Hal. 49
[9] D. Hidayat, Al-Balâghah li …, Hal. 53
[10] Syihabuddin Qalyubi, Kontribusi Ilmu al-Uslub (Stilistika) dalam Pemahaman Komunikasi Politik, diunduh dari http://adia-adab.org/bahasa/68-kontribusi-ilmu-al-uslub-stilistika-dalam-pemahaman-komunikasi-politik, diunduh pada 12 Desember 2011
[11] Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2007), Cet. I, Hal. 101-102.
[12] Dendy Sugono, dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), Hal. 976.
[13] Fahd ibn ‘Abd al-Rahman al-Rumi, Khashâish …, Hal. 24
[14] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an diTinjau dari Aspek Kebahasaan, Syarat Ilmiyah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2008), Hal, 23.
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, diunduh dari http://media.isnet.org/islam/ Quraish/Wawasan/Seni2.html, diunduh pada 13 Desember 2011
[17] Subhi al-Shâlih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1977), Hal, 334.
[18] Subhi al-Shâlih, Mabahits fi …, Hal, 340.